Kawan, pernahkah kau berada di posisiku? Pernahkah
kau melihat ke arahnya, ayah bapak atau papa kalian yang kian hari bertambah
tua. Ubannya setiap hari semakin bertambah banyak. Keriput di wajahnya semakin
terlihat jelas ketika dia mencoba membuat sesuatu lelucon. Tapi semangatnya
untuk terus menyokong kehidupan kami, para anggota keluarga terus menggelegak
di sela-sela perih dan lelah yang dia rasakan. Pernahkah kau sadari itu semua
kawan?
Akhir-akhir ini, aku sadari itu semua. Aku melihat
sesuatu yang lain pada diri ayahku, sesuatu yang berubah, dan sesuatu yang
membuatku sebagai anak pertamanya yang tidak pernah melakukan sesuatu yang
membanggakan ini berpikir.
Dari dulu, sejak jamannya kanak-kanak pun, Ayah
adalah sosok pekerja keras tiada tanding. Semua dilakukannya demi mendapatkan
pundi-pundi rupiah yang halal. Waktu kecil, ayah selalu membantu ibunya
berjualan makanan kecil. Jadi sebelum berangkat sekolah, beliau selalu
menyempatkan bersama sepeda tuanya, mengantar kue-kue yang dibuat ibunya ke
berbagai penjual kelontong. Pernah suatu ketika ayah bercerita dengan wajah
konyolnya, bahwa dulu ketika sedang bertugas mengantarkan kue-kue buatan
ibunya, ayah bertemu dengan temannya. Dan ayah memasang ekspresi stay cool tidak
seperti wajah anak-anak yang malu karena ketahuan membantu ibu berjualan kue.
Membantu menjualkan kue-kue berlangsung sampai SMP,
kemudian ketika lulus SMA, Ayah pindah dari rumahnya bersama adik-adiknya
menuju rumah rumah kakaknya untuk membantu kakaknya yang berjualan sayuran di
pasar. Pada saat ini adalah saat terekstrem dalam hidupnya menurutku. Ayah
diperlakukan seperti layaknya pesuruh yang digaji sedikit oleh sang majikan,
yang dalam konteks ini bukanlah kakaknya, tetapi mertua kakaknya. Disuruh
bangun pagi-pagi buta sebelum subuh untuk membantu membawa sayur-sayur yang
akan dijual, harus bolak balik karena memang kapasitas karung yang dibawanya di
sepedanya sedikit. Bayangkan pagi-pagi buta sebelum subuh, aku bahkan jarang
sekali bangun jam seperti itu, sekali bangun jam seperti itu juga tidak akan
pernah bekerja rodi seperti yang dilakukan ayah.
Setelah mendapatkan pengalaman kerja di kota
metropolisnya Jawa Timur (ya, yang saya maksud adalah Surabaya) meskipun kerja
sebagai buruh, ayah telah PD untuk mencari kerja di pabrik-pabrik. Singkat cerita, setelah diterima di
suatu pabrik penghasil mobil termahal dari Jerman, ayahku menikah dengan ibu.
Ya, ibu bercerita bahwa jangan bayangkan pernikahan mereka adalah pernikahan
yang meriah, yang penuh dengan kebahagiaan, sekalinya tangisan paling-paling
hanya tangisan haru karena saking bahagianya. Tidak, itu semua salah. Kata ibu,
semua biaya pernikahan ditanggung oleh ayah yang waktu itu masih menjadi buruh
pabrik perusahaan pelit mobil dari Jerman itu, dan sedikit tambahan dari nenek
ibu yang mempunyai banyak sawah waktu itu. Keluarga besar dari ayah, sama
sekali tidak memperdulikan pernikahan salah satu anggotanya, tidak ada yang
menyumbang dana sama sekali. Alhasil ayahku lah yang berusaha sekuat tenaga
jungkir balik sendirian, ah ralat jungkir balik ditemani ibu. Betapa waw nya jika
jaman sekarang masih ada manusia semacam ayah hebatku itu. Meskipun
pernikahannya tidak meriah, tapi usahanya mencari dana itu yang sungguh sangat
membanggakan, membanggakan aku sebagai anaknya yang sama sekali tidak berguna.
Tak lama setelah menikah dengan ibu, ayah
melanjutkan kuliah karena memang sejak lulus SMA, ayah sama sekali belum
mengecap bangku kuliah. Alhasil beginilah kondisi ayah waktu itu, pagi bekerja
untuk menghidupi keluarga kecilnya, malam kuliah. Betapa kerennya ayahku :D.
Ayah lulus kuliah tepat ketika aku berumur dua tahun. Sampai saat ini, aku
senang sekali melihat foto album saat ayah wisuda.
Sampai aku sebesar ini, ayah tetap jadi sosok
pekerja keras yang luar biasa di mataku. Awalnya, ketika aku masih bersekolah
dan masih tinggal bersama keluarga kecilku, aku menganggap hal itu biasa. Tapi
sekarang, sejak aku tinggal berjauhan kota dari keluarga kecilku yang damai
(padahal cuma butuh waktu dua jam untuk bisa menjangkau kota tempat tinggalku
menuju kota tempatku melanjutkan studi) aku mulai terasa perjuangannya semakin
berat. Aku membuat bebannya bertambah lebih berat. Aku membuatnya harus
berjuang lebih keras. Betapa jahatnya anakmu ini yah, betapa tidak bergunanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar