Rabu, 30 Mei 2012

Renungan


Jangan pernah tanya mengapa kau dilahirkan dengan begitu banyak kekurangan, bahkan sampai kau setua ini mungkin masih tidak tahu kelebihan apa yang tersimpan dalam diri hina mu (sebenarnya ini menceritakan tentang aku). Jangan pernah tanya mengapa, karena itu sama saja kau menghujat Dia, Dia yang selalu memberimu  kehidupan yang berjalan normal. Tetapi mengapa kau tetap saja bertanya mengapa? Pikirkan orang-orang yang hidupnya lebih susah dibandingkan hidupmu. Pikirkan kehidupan orang yang bahkan untuk kelangsungan hidupnya beberapa jam ke depan saja harus memutar otak ekstra keras dan harus berjungkir balik tanpa tentu arah.


Membicarakan masalah orang yang hidupnya lebih susah aku punya suatu cerita yang mungkin hanya aku saja yang bilang cerita itu menarik. Karena kemarin aku coba ceritakan pada seseorang, tapi orang itu malah tanggapannya biasa. Sadar gak sih, padahal aku bersusah payah menahan marah, tapi malah tanggapan yang diberikan malah biasa. Hahaaa sudahlah itu masalah lain. Kembali ke orang yang hidupnya lebih susah, kemarin adalah hari yang luar biasa menguras energiku. Emosiku tak tertahan, aku berkali-kali mendapati pandanganku tiba-tiba mengabur. Lalu mana orang yang hidupnya lebih susah? Ini dia, sebentar lagi juga pasti akan aku ceritakan :).


Jadi di saat emosiku sedang labil seperti kemarin, aku paling suka shalat. Karenanya ketika telah bosan menunggu di stasiun selama berjam-jam, aku akhirnya mencari makan dan beli pulsa. Setelah itu aku mencari masjid karena sampai jam 2 lewat aku belum shalat dhuzur. Setelah selesai shalat, aku menunggu sampai waktu ashar tiba. Toh juga sebentar lagi ashar tiba. Selang tak beberapa lama adzan ashar tiba, setelah adzan selesai aku dikejutkan oleh seorang ibu-ibu yang hampir tua, jadi sudah pantas disebut mbah sih. Oke, kemudian mbah-mbah itu bertanya

“apakah di mushola ini ada rukuh yang bisa dipakai?” Lalu aku jawab

       “pintu mushola sedang digembok, jadi seandainya ada pun mbah juga tidak akan bisa meminjamnya.”


Setelah itu mbah itu bilang lagi

     “kalau begitu saya akan shalat tanpa memakai rukuh karena memang keadaannya mendesak.”


Kontan saja aku langsung menawarkan rukuhku untuk dipinjamnya. Eh ternyata jawabannya di luar dugaan, mbah itu bilang

“makasih yaa, anda telah meringankan beban saya.”


Aku Cuma bisa bales

iya gapapa mbah.”


Segera setelah selesai shalat, aku mengangsurkan rukuhku pada si mbah itu. Singkatnya, setelah mbah itu selesai shalat dan melipat rukuhku kemudian mengembalikannya, mbah itu bilang lagi

            “makasih yaa, anda telah meringankan beban saya. Semoga dibalas oleh yang Kuasa.”

            “sama-sama, iya amin mbah.”


Disaat mbah itu berterima kasih sambil mengucapkan doa, disaat yang bersamaan temanku yang tidakk sengaja aku temui selesai shalat lalu bilang

            “pernah tahu mbah itu sebelumnya gak?”

            “gak pernah. Kamu pernah ya?”

            “mbah itu yang biasanya ngamen di kereta.”


Spechless, gak bisa ngomong apa-apa. Makanya kok dari tadi mbah itu mbahas meringankan beban aja, ternyata :o. Aku baru saja meminjamkan rukuhku pada pengamen di kereta dan didoakan, aku gak pernah membayangkan itu sebelumnya, tapi rasanya sungguh apa yaa,  tidak bisa dideskripsikan :). 

AYAH

Kawan, pernahkah kau berada di posisiku? Pernahkah kau melihat ke arahnya, ayah bapak atau papa kalian yang kian hari bertambah tua. Ubannya setiap hari semakin bertambah banyak. Keriput di wajahnya semakin terlihat jelas ketika dia mencoba membuat sesuatu lelucon. Tapi semangatnya untuk terus menyokong kehidupan kami, para anggota keluarga terus menggelegak di sela-sela perih dan lelah yang dia rasakan. Pernahkah kau sadari itu semua kawan?


Akhir-akhir ini, aku sadari itu semua. Aku melihat sesuatu yang lain pada diri ayahku, sesuatu yang berubah, dan sesuatu yang membuatku sebagai anak pertamanya yang tidak pernah melakukan sesuatu yang membanggakan ini berpikir.


Dari dulu, sejak jamannya kanak-kanak pun, Ayah adalah sosok pekerja keras tiada tanding. Semua dilakukannya demi mendapatkan pundi-pundi rupiah yang halal. Waktu kecil, ayah selalu membantu ibunya berjualan makanan kecil. Jadi sebelum berangkat sekolah, beliau selalu menyempatkan bersama sepeda tuanya, mengantar kue-kue yang dibuat ibunya ke berbagai penjual kelontong. Pernah suatu ketika ayah bercerita dengan wajah konyolnya, bahwa dulu ketika sedang bertugas mengantarkan kue-kue buatan ibunya, ayah bertemu dengan temannya. Dan ayah memasang ekspresi stay cool tidak seperti wajah anak-anak yang malu karena ketahuan membantu ibu berjualan kue.


Membantu menjualkan kue-kue berlangsung sampai SMP, kemudian ketika lulus SMA, Ayah pindah dari rumahnya bersama adik-adiknya menuju rumah rumah kakaknya untuk membantu kakaknya yang berjualan sayuran di pasar. Pada saat ini adalah saat terekstrem dalam hidupnya menurutku. Ayah diperlakukan seperti layaknya pesuruh yang digaji sedikit oleh sang majikan, yang dalam konteks ini bukanlah kakaknya, tetapi mertua kakaknya. Disuruh bangun pagi-pagi buta sebelum subuh untuk membantu membawa sayur-sayur yang akan dijual, harus bolak balik karena memang kapasitas karung yang dibawanya di sepedanya sedikit. Bayangkan pagi-pagi buta sebelum subuh, aku bahkan jarang sekali bangun jam seperti itu, sekali bangun jam seperti itu juga tidak akan pernah bekerja rodi seperti yang dilakukan ayah.


Setelah mendapatkan pengalaman kerja di kota metropolisnya Jawa Timur (ya, yang saya maksud adalah Surabaya) meskipun kerja sebagai buruh, ayah telah PD untuk mencari kerja di pabrik-pabrik.  Singkat cerita, setelah diterima di suatu pabrik penghasil mobil termahal dari Jerman, ayahku menikah dengan ibu. Ya, ibu bercerita bahwa jangan bayangkan pernikahan mereka adalah pernikahan yang meriah, yang penuh dengan kebahagiaan, sekalinya tangisan paling-paling hanya tangisan haru karena saking bahagianya. Tidak, itu semua salah. Kata ibu, semua biaya pernikahan ditanggung oleh ayah yang waktu itu masih menjadi buruh pabrik perusahaan pelit mobil dari Jerman itu, dan sedikit tambahan dari nenek ibu yang mempunyai banyak sawah waktu itu. Keluarga besar dari ayah, sama sekali tidak memperdulikan pernikahan salah satu anggotanya, tidak ada yang menyumbang dana sama sekali. Alhasil ayahku lah yang berusaha sekuat tenaga jungkir balik sendirian, ah ralat jungkir balik ditemani ibu. Betapa waw nya jika jaman sekarang masih ada manusia semacam ayah hebatku itu. Meskipun pernikahannya tidak meriah, tapi usahanya mencari dana itu yang sungguh sangat membanggakan, membanggakan aku sebagai anaknya yang sama sekali tidak berguna.


Tak lama setelah menikah dengan ibu, ayah melanjutkan kuliah karena memang sejak lulus SMA, ayah sama sekali belum mengecap bangku kuliah. Alhasil beginilah kondisi ayah waktu itu, pagi bekerja untuk menghidupi keluarga kecilnya, malam kuliah. Betapa kerennya ayahku :D. Ayah lulus kuliah tepat ketika aku berumur dua tahun. Sampai saat ini, aku senang sekali melihat foto album saat ayah wisuda.


Sampai aku sebesar ini, ayah tetap jadi sosok pekerja keras yang luar biasa di mataku. Awalnya, ketika aku masih bersekolah dan masih tinggal bersama keluarga kecilku, aku menganggap hal itu biasa. Tapi sekarang, sejak aku tinggal berjauhan kota dari keluarga kecilku yang damai (padahal cuma butuh waktu dua jam untuk bisa menjangkau kota tempat tinggalku menuju kota tempatku melanjutkan studi) aku mulai terasa perjuangannya semakin berat. Aku membuat bebannya bertambah lebih berat. Aku membuatnya harus berjuang lebih keras. Betapa jahatnya anakmu ini yah, betapa tidak bergunanya.

 

(c)2009 My Little World.... Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger